MAKALAH
“Budaya Hindu”
Oleh :
Putu
Ida Padmawati
Kelas
: XII. IPS3
SMA
NEGERI 1 LADONGI
TAHUN
PELAJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
“Om Swastyastu”
Asung Kertha Wara Nugraha saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, karena atas berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Budaya Hindu”
selesai tepat pada waktunya.
Tentu saja dalam penyelesaian makalah
ini saya selaku penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak yang telah membantu saya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya.
Saya menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu saya mohon saran dan kritik dari
pembaca demi menyempurnakan makalah ini
di kemudian hari.
“Om Shantih, Shantih, Shantih Om”
Ladongi, Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya
merupakan segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Segala bentuk
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu masyarakat dan
diwariskan dari generasi ke generasi adalah hal – hal yang muncul karena budi
dan akal manusia. Budaya merupakan pola hidup menyeluruh yang bersifat
kompleks, abstrak, dan luas.
Budaya
terbentuk dari beberapa unsur yang rumit, diantaranya sistem agama, adat
istiadat, karya seni, dan lain sebagainya. Dianggap sebagai unsur yang rumit
karena unsur – unsur tersebutlah yang menimbulkan keanekaragaman budaya
sehingga budaya di daerah yang satu berbeda dengan budaya yang ada di daerah
lain walaupun masih dalam satu Negara. Perbedaan budaya tersebut yang kemudian
menjadi sebuah identitas bagi daerah – daerah yang bersangkutan sehingga mudah
untuk mengenali dan mengingat ciri khas masing – masing daerah.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah
yaitu sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimana hubungan antara agama dan kebudayaan
Hindu?
1.2.2
Bagaimana kebudayaan yang ada dalam agama Hindu?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini yaitu :
1.3.1
Menganalisis hubungan antara agama dan kebudayaan
Hindu
1.3.2
Menjabarkan kebudayaan yang ada dalam agama Hindu
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.4.1
Bagi penulis, dapat mengetahui dan menjelaskan
tentang bagaimana budaya sebagai ekspresi pengamalan ajaran agama Hindu.
1.4.2
Bagi pembaca, dapat menambah referensi
pengetahuan tentang budaya sebagai ekspresi pengamalan ajaran agama Hindu serta
bisa lebih menghargai kebudayaan Hindu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hubungan
Antara Agama dan Kebudayaan Hindu
2.1.1 Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi
atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Budaya merupakan suatu cara hidup
yang berkembang dari suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan adalah esensi kehidupan bangsa. Mengenal kebudayaan bangsa
berarti mengenal aspirasinya dalam segala aspek kehidupannya.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
2.1.2. Agama
Hindu
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya
tahan fisik manusia dalam menguasai dan
mengungkap rahasia – rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi
dari sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah
satu bagian alam ini. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun
hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem
kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Agama
Hindu adalah agama yang dianggap tertua di dunia yang bersumber pada kitab
suci Veda yang merupakan himpunan wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dari kitab suci
Vedalah mengalir semua ajaran Agama Hindu baik yang menyangkut ajaran Sradhà
(keyakinan/kepercayaan), Tata-susila (etika) dan Àcàra (ritual
dan lain-lain). Sesuai
dengan perkembangannya, hingga kini agama Hindu menjadi sebuah agama
keselarasan yang memiliki kedamaian universal serta memandang setiap individu
atau manusia sebagai satu keluarga besar. Ciri khas dari Agama Hindu
adalah memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Agama Hindu memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam
masalah keyakinan dan kepercayaan. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk
merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu segala
macam keyakinan atau adat-istiadat yang berbeda semuanya memperoleh tempat yang
terhormat secara berdampingan dalam Hindu dan dibudayakan serta dikembangkan
dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lain.
2.1.3. Hubungan Antara Agama dan Kebudayaan Hindu
Agama, Budaya dan Masyarakat
jelas tidak akan berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat
selaras.
Antara Agama Hindu dan budaya Bali sudah terjadi sebuah hubungan dengan ciri khas masing – masing yang melebur
jadi satu. Bagi pengamat sepintas, sulit pula membedakan antara
Agama Hindu dan budaya Bali, oleh karena itu sering terjadi identifikasi bahwa
Agama Hindu sama dengan kebudayaan Bali. Kerancuan ini perlu dijelaskan, bahwa
kedudukan Agama Hindu dalam hubungannya dengan budaya Bali adalah merupakan
jiwa dan nafas hidup dari budaya dan kebudayaan.
Dalam agama Hindu, antara
agama dan adat-budaya terjalin hubungan yang selaras/erat antara satu dengan
yang lainnya dan saling mempengaruhi. Karenanya tidak jarang dalam pelaksanaan
agama disesuaikan dengan keadaan setempat. Demikianlah terdapat didalam agama Hindu, perbedaan
pelaksanaan agama Hindu pada suatu daerah tertentu terlihat berbeda dengan
daerah yang lainnya. Perbedaan itu bukanlah berarti agamanya yang berbeda.
Agama Hindu di India adalah sama dengan agama Hindu yang ada di Indonesia,
namun kuilnya yang akan tampak berbeda.
Sedangkan budaya agama
adalah suatu penghayatan terhadap keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
bentuk kegiatan budaya. Sejak munculnya agama Hindu, usaha memvisualisasikan
ajaran agama Hindu kepada umat manusia telah berlangsung dengan baik. Para
rohaniawan Hindu, para pandita, orang-orang suci mengapresiasikan ajaran yang
terdapat dalam kitab suci Weda kedalam berbagai bentuk simbol budaya. Usaha ini
telah terlaksana dari zaman ke zaman. Ajaran yang sangat luhur ini diwujudkan
dan disesuaikan dengan desa, kala, dan patra pada waktu itu.
Kalau dilihat dari fakta
sejarah, wujud budaya agama itu dari zaman ke zaman mengalami perubahan bentuk,
namun tetap memiliki konsep yang konsisten. Artinya, prinsip-prinsip ajaran
agama itu tidak pernah berubah yakni bertujuan menghayati Ida Sang Hyang Widi
Wasa. Kepercayaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa, menjadi sumber utama untuk
tumbuh dan berkembangnya budaya agama dan ini pula yang melahirkan variasi
bentuk budaya agama. Variasi bentuk itu disesuaikan dengan kemampuan daya nalar
dan daya penghayatan umat pada waktu itu. Budaya agama yang dilahirkan dapat
muncul seperti “upacara agama”.
2.2. Kebudayaan yang Ada dalam Agama Hindu
2.2.1. Dharma Gita
Dharma
Gita merupakan suatu bentuk budaya hasil dari pengamalan ajaran agama Hindu
berupa seni suara atau vocal yang
indah yang mampu memberi kepuasan secara jasmani maupun rohani. Dharma Gita berasal dari bahasa
Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan Gita. Dharma artinya
kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan. Sedangkan Gita artinya
nyanyian/lagu. Jadi, Dharma Gita berarti suatu nyanyian kebenaran yang biasa
dilantunkan suatu upacara keagamaan. Hindu. Di Dharma Gita terdapat
syair-syair yang sudah di ringkas sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran
keagamaan, kemudian dilantunkan dengan suara yang amat mempesona. Pelaksanaan
Dharma Gita dilaksanakan pada upacara yadnya yang lagunya telah disesuaikan
dengan masing-masing yadnya yang dipersembahkan.
Melalui
Dharma Gita seseorang dapat menghayati ajaran agama secara mendalam
sehingga perasaan, pikiran, dan budhinya menjadi halus. Lagu-lagu
keagamaan yang dinyayikan dalam Dharma Gita dapat menggetarkan alam rasa dan
meningkatkan Sradha Bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa serta prabhava-Nya, Dharma Gita
juga mampu mengendalikan diri kita dari pengaruh Adharma, sebgai sarana
melestarikan budaya, sebagai
penunjang pelaksanaan yadnya, serta sebagai alat komunikasi,
yaitu Komunikasi spiritual.
Adapun jenis – jenis Dharma Gita
yaitu sebagai berikut.
1.
Sekar Rare
Merupakan kumpulan nyanyian anak – anak yang
menggunakan bahasa bali sederhana, bersifat dinamis dan riang. Contoh : Ratu
Anom, Putri Cening Ayu, Meong – Meong, dan sebagainya.
2.
Sekar Alit
Merupakan nyanyian berupa Pupuh yang diikat oleh Pada Lingsa yaitu jumlah suku kata dan
irama tertentu pada setiap barisnya. Satu Pada
terdiri dari empat baris. Lingsa itu
bunyi vokal terakhir pada setiap baris.
3.
Sekar Madya
Meurpakan nyanyian dalam bentuk kidung yang juga
menggunakan Pada Lingsa, namun syarat menyayikannya harus
perlahan-lahan. Contoh
: Kawitan Warga Sari, Kawitan Kidung
Tantri, dan lain sebagainya.
4.
Sekar Agung
Sekar agung
disebut juga kakawin. Kakawin adalah sebuah bentuk syair dalam bahasa Jawa Kuno yang diikat oleh Guru Laghu.
Dalam kakawin
dikenal istilah wirama. Tiap-tiap
wirama dibentuk berdasarkan Wrtta Manta,
Wrtta artinya banyak suku kata dalam setiap kalimat. Empat kalimat menjadi satu
wirama.
5.
Sloka
Sloka terdiri dari empat baris dalam satu padartha, dengan jumlah suku kata yang
sama dalam setiap barisnya. Contoh : Sloka dalam Bhagavad Gita.
6.
Palawakya
Menggunakan bahasa Jawa Kuno dan berbentuk prosa.
Dalam membaca dan melagukan sangat tergantung pada intonasi serta ketepatan
pengejaan dan pemenggalan kata-kata.
2.2.2 Seni Tari
Tari
merupakan pencetusan atau ungkapan jiwa manusia melalui gerak ritmis yang dapat
menimbulkan daya pesona. Gerak ritmis merupakan gerak yang di lakukan secara
spontanitas penuh dengan penjiwaan dan berirama sehingga dapat menggugah si
penari ataupun bagi penonton. Ungkapan jiwa merupakan cetusan atas rasa dan
emosional yang juga di sertai dengan kehendak. Daya pesona merupakan rasa yang
terlintas seperti adanya rasa indah, lembut, keras, menggelikan, marah dan
sebagainya. Seni tari di Bali berkaitan erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan
layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan
Agama Hindu. Dewa Siwa yang di percaya Umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal
digambarkan pula sebagai "Dewa Tari" dengan gelar Ciwa Nataraja dalam
sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan mengisi ruang saat
menciptakan alam semesta. Pada awalnya tari-tarian ditekuni oleh para
pragina(penari) adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak terpisahkan
dengan prosesi upacara dan hanya dipangelarkan tatkala di selenggarakan upacara
keagamaan di pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan
pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi
media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan. Dari jenis dan
fungsinya tari dalam arti luas dapat di pilah menjadi 3 kelompok, yaitu :
Ø Tari
Wali
Tari wali merupakan tari yang dipentaskan sebagai rangkaian dalam
pelaksanaan upacara dan bersifat sacral. Dikatakan sacral dapat dilahat dari
penarinya, dimana yang menjadi penari adalah anak-anak yang belum menstruasi
dan orang tua yang sudah menefous / orang tua yang sudah habis masa
menstruasinya. Contoh tari wali adalah : Tari Rejang, Tari Pendet, Tari Baris
Upacara, Tari Sang Hyang.
Ø Tari
Bebali
Tari Bebali bersifat semi sacral karena selain dipentaskan waktu
pelaksanaan upacara keagamaan juga dapat bersifat sebagai hiburan. Tari Bebali
biasanya memakai lakon dan disajikan sesuai ketentuan, menyesuaikan dengan
perlengkapan menurut masing-masing upacara. Contoh : Seni pewayangan, Topeng Pajrgan,
Gambuh, dll.
Ø Tari
Balih-Balihan
Tari yang tergolong Balih-balihan adalah semata-mata bertujuan untuk
hiburan, akan tetapi tetap berdasarkan norma-norma seni budaya yang luhur.
Contoh: tari legong, tari oleg, tari cak, janger, drama tari, dan lainnya.
2.2.3
Seni Tabuh
Seni tabuh merupakan suatu karya
seni yang dikumandangkan dengan alat-alat musik tradisional. Seni tabuh
mempunyai fungsi sebagai pelaksana dan pengiring jalannya suatu upacara,
seperti : Gambang, Saron, Slonding, Angklung, Gender Wayang, Balaganjur,
Bebonangan, dan lain sebagainya.
Unsur – unsur agama Hindu dikemas sedemikian rupa
ke dalam instumen – instrumen tabuh. Selain sebagai pengiring upacara
keagamaan, seni tabuh juga merupakan pengiring dari tari – tarian yang
ditampilkan setiap upacara keagamaan.
2.2.4 Upacara Keagamaan
Upacara adalah salah satu cara yang dilakukan oleh
umat Hindu untuk menghubungkan dirinya dengan Hyang Widhi. Cara
yang dilakukan untuk menghubungkan diri ada yang sederhana dan
nyata. Upacara adalah salah satu pelaksanaan dari yadnya.
Dalam melaksanakan suatu upacara digunakan sarana yang disebut upakara.
Pelaksanaan Upacara dilakukan berulang untuk
sebagian atau keseluruhannya dalam suasana religius lahir dan
bathin. Sehingga upacara merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin
diabaikan begitu saja.
Upacara pada dasarnya adalah pemberian yang tulus
ikhlas untuk kepentingan bersama, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak
dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunitasnya dengan Tuhan.
Dalam pelaksanaannya
tetap berlandaskan Tatwa (aturan/kitab suci), Susila (kebiasaan) dan Upacara.
dalam kegiatan Upacara Keagamaan berpatokan pada Panca Yadnya.Panca Yadnya
menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus
dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan
menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka
hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya
sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Contoh upacara keagamaan berdasarkan Panca Yadnya
yaitu sebagai berikut :
Ø Pitra yadnya :
Penyelenggaraan upacara Ngaben merupakan ritual pembakaran mayat atau kremasi
umat Hindu yang diadakan dan diritualkan secara adat oleh masyarakat Bali. Di
dalam Panca Yadnya,yang dipercaya oleh masyarakat Bali, upacara ini
termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur
mereka. Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk
tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen
yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian
atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai
susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai
bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara). Makna upacara Ngaben pada
intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke
tempat asalnya.
Ø Rsi yadnya :
Upacara Madiksa bertujuan meningkatkan kesucian diri secara lahir batin
dari seorang Welaka (orang biasa) menjadi orang
suci (Pendeta/Sulinggih), upacara Madiksa termasuk dalam upacara
Rsi Yadnya
Ø Dewa yadnya : Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan
suci yang tulus ikhlas kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suci-NYA yang disebut
dewa-dewi. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya
Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu untuk
memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu
pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku
Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengetahuan
dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis
alat musik), genitri (semacam tasbih), pustaka lontar bertuliskan sastra ilmu
pengetahuan di dalam kotak kecil, serta bunga teratai yang melambangkan
kesucian.
Ø Manusa Yadnya : Otonan / Wetonan, adalah upacara
yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan
210 hari. Contoh yang lain yaitu Upacara Potong Gigi yakni upacara keagamaan yang wajib
dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah
beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan
bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Ø Bhuta Yadnya: Bhuta Yadnya
adalah pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan
Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta
Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah
Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka
/ Kalender Bali). Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci
yang merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar
terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia
dalam kehidupan.
2.2.5 Bangunan Suci Umat Hindu
Bangunan suci umat Hindu khususnya di Indonesia dikenal dengan
nama Pura. Kata "Pura" sesungguhnya
berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore), yang
artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana.
Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah
"Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja
dan bangsawan.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan
tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri
dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini
dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang
penuh berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa
bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam Ida Sang
Hyang Widhi. Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang
memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni :
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu
masuk pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau
taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan
dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat
dan fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong
(Bale gamelan),
Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di
dalam pura. Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana,
Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale
Murda, dan Gedong Penyimpenan.
Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya
mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti
Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di Nista
mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana)
di Bali,
baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan
satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk
lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista
mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau
Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan
untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama
mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk
kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk
lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar
beberapa ritual keagamaan Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali.
1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan.
Dibangun di lereng gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali yang
memuliakan tempat yang tinggi sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan hyang.
2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut.
Pura ini penting untuk menggelar ritual khusus seperti upacara Melasti.
3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan
desa atau perkotaan, berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat
Hindu dharma di Bali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaia berikut :
1.
Terdapat hubungan yang sangat erat dan selaras
antara budaya dan agama Hindu dimana menjiwai budaya yang ada. Baik itu dalam
bentuk dharma gita, seni tari, seni tabuh, upacara keagamaan, pakaian adat,
maupun bangunan suci. Semua itu merupakan bentuk usaha manusia untuk
mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bernafaskan ajaran –
ajaran Weda.
2.
Jenis – jenis budaya yang ada dalam agama Hindu
antara lain : Dharma Gita, Seni Tari, Seni Tabuh, Upacara Keagamaan, Pakaian
Adat, dan Bangunan Suci.
3.
Dari setiap budaya yang telah di paparkan tadi di
atas dapat dibuktikan adanya unsur kehinduan yang menjiwai masing – masing
budaya sebagai bentuk ekspresi dari pengamalan ajaran agama Hindu.
3.2 Saran
Budaya
merupakan bentuk ekspresi dari pengamalan ajaran agama Hindu. Untuk itu kita
sebagai umat Hindu harusnya mulai menjaga dan melestarikan budaya Hindu sebagai
bentuk penghargaan dan wujud bhakti guna mendekatkan diri kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa.
DAFTAR
PUSTAKA
https://www.scribd.com/doc/41281056/Makalah-Kebudayaan-Hindu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar