BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerangka
dasar ajaran agama Hindu adalah Tatwa (filsafat), Susila (ethika) dan upacara
(rituil). Ketingga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi
merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki dan dilaksanakan (Anonim, 1968).
Kehidupan masyarakat Bali sehari-harinya didasari atas filsafat Tri Hita Karana
yaitu kearmonisan hidup yang bahagia dengan tiga sumber penyebab yang tidak
lain adalah dari Tuhan, manusia dan alam sekitarnya ( Purnomohadi, 1993).
Penerapan Tri Hita Karana dalam pelaksanaan upacara dan yadnya pada kehidupan
sehari-harinya adalah sebagai berikut :
-
Hubungan antara manusia dengan Tuhan yang
diwujudkan dengan Dewa Yadnya.
-
Hubungan antara manusia dengan sesamanya
diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusia Yadnya
-
Hubungan manusia dengan alam lingkungan yang
diwujudkan dengan Buhta Yadnya. (Anonim 2000).
B. Rumusan Masalah
Dalam
pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami
jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah
yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
- Apa pengertian Pitra Yadnya.
- Apa dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
- Bagaimana tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
C. Tujuan
Dari
berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin
kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan
yaitu :
- Untuk mengetahui pengertian Pitra Yadnya.
- Untuk mengetahui dasar-dasar adanya Pitra Yadnya.
- Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Upacara Pitra Yadnya.
Pitra
Yadnya berasal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak/ Ibu atau leluhur
yang terhormat (sinuhun). Dan kata “Yadnya” berarti penyaluran tenaga, sikap,
tingkah laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau
pengorbanan. Pitra Yadnya adalah pengorbanan yang tulus ikhlas untuk para
leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup
kepada orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna. Tanpa ada leluhur dan
orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia ini. Oleh karena itu hutang
hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya.
Sedangkan
menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara harfiah
terdiri dari dua kata yakni Pitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan
Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan
Yadnya berarti pengorbanan yang
dilandasi hati yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya
berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci kepada leluhur
terutama orang tua”. (Kaler,1993:3)
Secara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya muncul dari
arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber literatur, diketemukan
berbagai pemaknaan terhadap kata “pitra”. Singgih Wikarma (2002) dalam bukunya
Ngaben, menguraikan bahwa Pitra berasal dari kata Pitr yang
artinya leluhur, yadnya berasal dari kata Yaj berarti berkorban.
Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti bentuk pengorbanan suci yang
dilaksanakan secara tulus ikhlas kepada para leluhur. Di lain pihak Sudarsana
(2002:9) menyebutkan bahwa “pitra” adalah sama pengertiannya dengan arwah dan
“pitra” berasal dari kata “pitri” yang artinya unsur-unsur kekuatan Panca Maha
Bhuta yang membentuk stula sarira (jasad).
Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal ini karena
menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh masing-masing penulisnya. Namun
demikian esensi dari upacara ini masih tetap sama dimana pada intinya
pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu bentuk pengorbanan
suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi roh, arwah para leluhur atau orang-orang
yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan upaya untuk
mempercepat proses pengembalian/penyucian unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar
kembali ke sumbernya.
Adapun bentuk upacara pitra yadnya memiliki runtutan dari
upacara orang meninggal hingga distanakan atau tempatkan pada tempat suci
keluarga (sanggah). Pada saat baru meninggal, kekuatan Panca Maha Bhuta
(pitra/roh) orang yang meninggal disebut dengan “petra/pitri/pitra”, setelah
dilaksanakan penyucian tahap pertama melalui upacara atiwa-tiwa (ngringkes),
maka sebutan pitra meningkat menjadi “pitara” (pitarah). Selanjutnya
setelah dilakukan penyucian melalui upacara ngaben, disertakan dengan pengaskaran
maka kesuciannya akan meningkat sehingga mendapat sebutan Dewa Pitara.
Penyucian Dewa Pitara melalui upacara pemukuran akan meningkatkan
lagi Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara. Setelah berstatus Hyang
Pitara, upacara penyuciannyapun terus dilaksanakan melalui upacara Nilapati
yaitu ngunggahang Bethara Hyang di Kemulan, maka Hyang Pitara
telah kembali ke sumbernya yaitu ke “Sang Hyang Prakerthi” dan pada saat inilah
mendapat sebutan Bethara Hyang (Sudarsana, 2002:12).
Dapat disimpulkan bahwa, upacara Pitra Yadnya merupakan
upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal yang
dilaksanakan melalui rangkaian upacara pengringkesan, pengabenan, memukur
hingga nilapati atau ngelinggihang. Berkenaan dengan rangkaian
upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa mengiringi pelaksanaannya
adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik pengiringnya.
Dalam pelaksanaannya di masyarakat Kota Denpasar, apabila
dirinci dari awal pelaksanaan upacara pitra yadnya hingga rangkaiannya yang
terakhir yaitu Nilapati digunakan berbagai jenis gamelan sebagai musik
pengiringnya. Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar, terkait dengan rangakaian
upacara tersebut dipergunakan gamelan Balaganjur, Gender Wayang, Angklung, Gong
Kebyar, Gambang, Gong Luang (Saron).
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai sumber
sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78) disebutkan ada
empat tingkatan yaitu mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa.
Sesuai dengan situasi dan kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan
tersebut dibagi lagi sehingga terdapat 10 bentuk pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam tingkatan
nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi berbagai
persyaratannya. Pengabenan mewangun merupakan tingkatan pengabenan
tertinggi dimana pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas
upacara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan
sastra agama Hindu (Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan
bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang luas di
masyarakat, seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa.
Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang
kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas yang sama dan
tergantung dari pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat
melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan kemampuan
dalam melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling sederhana adalah
swastha dan ngerti parwa.
Disamping
bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa kini adalah
bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan
orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan
belajar sebaik-baiknya sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua
semasih hidup dengan ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang
tua adalah merupakan pitra yadnya utama.
B. Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya
1)
Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri
seseorang menjadi anak dari seorang bapak/ibu, maka sadarlah seseorang bahwa ia
lahir dan dipelihara sejak kecil sampai dewasa oleh bapak/ibu.
2)
Kesadaran diri akan hal tersebut diatas,
makasadar pula akan dirinya yang memiliki hutang yang besar kepada bapak/ibu
yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa Dharma Sastra No.127, upacara yang
ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh leluhur merupakan
dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3)
Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini
berhutang jasa terhadap orang tua baik semasih orang tua hidup dan setelah
orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu disebut Pitra Rnam.
4)
Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya
Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam.
5)
Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang
kepada orang lain, maka iapun harus sadar akan dirinya mempunyai kewajiban
untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan dirinya bahwa dalam hidup ini kita
memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk melaksanakan Pitra Yadnya.
Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup bagi seorang anak.
C. Tata Cara Pitra Yadnya
Dalam
melakukan kewajiban sebagai seorang anak Terhadap orang tua, dalam agama Hindu
disebut Sutakirtya. Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua
sasaran pokok yaitu :
1. Semasih Orang tua
hidup
Dalam
mengarahkan Sutakirtya terhadap orang tua yang masih hidup, lebih
dititikberatkan kepada ajaran tata susila, dengan dijiwai inti hakekatnya.
Susila yang dimaksud adalah selalu berusaha mebuat orang tua bahagia, yang
dinikmati dari cetusan bhakti dari anak. Sedangkan hakekat yang dimaksud adalah
Jiwatman bersemayam didalam diri orang tua adalah tunggal dengan yang ada pada
orang lain dan bahkan dengan yang ada pada diri sianak. Dan yang lebih mendasar
adal Jiwatman adalah tunggal dengan Paramaatman.
2. Setelah orang tua meninggal dunia
Yaitu mengarahkan
Sutakirtya setelah orang tua meninggal dunia, pelaksanaannya lebih banyak
tampak kepada Upacara secara simbolis (nyasa) dalam bentuk upakara atau banten
yang dapat dikhayalkan menurut fantasi, yakni cetusan hati nurani dan yang
tersembunyi didalam sifat-sifat rahasia (inti hakekat), seperti tersebut
diatas, yaitu sesuatu usaha agar jiwatman orang tua dapat menunggal kembali
dengan Paramatman. Jadi dalam hubungan ini upacara Pitra Yadnya lebih banyak
mempergunakan Drwya Yadnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pitra Yadnya adalah pengorbanan
yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra yadnya wajib
dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan leluhur yang disebut
Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di
dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara
Pitra Yadnya.
Adapun tata cara yang dilakukan
diarahkan kepada dua sasaran pokok yaitu semasih Orang tua hidup dengan cara
selalu berbakti dan membahagiakan ereka. Yang kedua adalah setelah mereka
meninggal yaitu dengan cara melakukan upacara atiwa-atiwa atau pengabenan.
B. Saran- saran
Kita sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Brahman (Hyang Widhi) harus selalu mengamalkan ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari terutama perbuatan yang ditujukan kepada orang tua
haruslah sesuai dengan sesana kita sebagai anak sehingga kita dapat mencapai
kebahagiaan yang sejati.
Apabila kita memiliki orang tua
yang sudah meninggal tetapi belum di aben maka kita sebagai anak harus
melaksanakan hal tersebut, karena itu merupakan kewajiban kita sebagai anak.
DAFTAR PUSTAKA
Girinata, Drs. IMade. M.Ag, Acara Agama Hindu I, Institud
Hindu Dharma Negeri, Denpasar, 2009.
Tim Penulis Dan Penyusun Buku Agama Hindu, Panca Yadnya,
Pemda Tingkat I, Bali, 1996/1997.
ATAU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar